SEJARAH MAULID NABI MUHAMMAD SAW (Uswatun Hasanah)
Peringatan maulid Nabi Muhammad SAW yang bertepatan pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal masih menyisakan banyak pertanyaan. Kesamaran sejarah tersebut bermula dari sejarah kalender Islam. Keinginan untuk mengingat hari kelahiran Nabi Muhammad SAW baru-baru muncul pada masa Khalifah Umar bin Khattab tepatnya pada tahun 638 Masehi (22-23 H). ketika itu Khalifah Umar bin Khattab ingin menjadikan penanggalan Hijriyah sebagai sistem penganggalan yang resmi, khususnya tanggal kelahiran Nabi Muhammad SAW. Namun para sahabat menemukan kesulitan pada penetapan kelahiran Nabi, dikarenakan orang arab dulunya tidak terbiasa mencatat sejarah mereka dengan tulisan, sebab menulis merupakan suatu hal yang baru pada zaman itu, oleh karena itu tidak ada satupun di antara mereka yang mengetahui kapan persis terjadinya kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Meski demikian, orang Arab terbiasa mengingat suatu peristiwa dan sejarah yang besar, seperti halnya penyerahan ka’bah oleh tentara bergajah yang dipimpin oleh Abrahah yang juga bertepatan dengan kelahiran Nabi SAW. Mayoritas masyarakat Arab memperkirakan peristiwa itu terjadi pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal pada Tahun Gajah atau 20 April 571 Masehi.
Peringatan maulid pertama kali dilakukan pada masa Dinasti Fathimiyyah di Mesir, tepatnya pada masa pemerintahan Al-Mu’iz li Dinillah yang berkuasa pada tahun 953-975 M, atau 4 abad setelah nabi wafat.
Al-Muiz li Dinillah adalah seorang penguasa yang beraliran Syi’ah, ia cenderung menjadikan peringatan maulid sebagai alat untuk mencapai kepentingan legitimasi politik. Mereka ingin menguatkan diri dengan memiliki kaitan silsilah dengan Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan di kalangan Sunni, maulid pertama kali digelar oleh penguasa Suriah, yakni Sultan Attabiq Nuruddin. Pada masa itu, maulid dilaksanakan pada malam hari yang diisi dengan pembacaan syair-syair yang berisi pemujaan terhadap raja (Ode) dengan sangat kental nuansa politiknya. Lalu peringatan maulid ini pernah dilarang pada masa pemerintahan Al-Afdhal Amirul Juyusy, karena dianggap sebagai bid’ah yang terlarang. Namun pada masa Sultan Salahuddin Al-Ayubi, tradisi ini dihidupkan lagi dan tidak heran bahwa sebagian kalangan menyebutkan bahwa orang yang pertama kali merayakan dan menghidupkan peringatan maulid adalah Sultan Al-Ayubi, karena tradisi itu dihidupkan kembali dengan nuansa yang tidak sama sekali berbau politik.
Peringatan maulid dilakukan bukan hanya untuk menjadi tradisi semata tetapi juga untuk membakar semangat juang umat Islam dalam berjihad fi sabilillah, sebagai ittiba’ pada Rasulullah dalam berjihad, meneladani kegigihan Rasulullah dan para sahabat dalam berjihad fii sabilillah. Selain itu, pada musim haji tahun 579 H (1183 M), Sultan Salahuddin menginstruksikan kepada seluruh jamaah haji agar sepulang menunaikan ibadah haji untuk memperingati maulid Nabi Muhammad SAW.
setiap tanggal 12 Rabiul Awwal melalui berbagai macam kegiatan yang mampu membangkitkan semangat jihad pasukan muslimin.
Kini, momen kelahiran Nabi Muhammad SAW pada 12 Rabiul Awwal diperingati oleh muslim di seluruh dunia dengan perayaan Maulid. Tak terkecuali di Indonesia, peringatan maulid Nabi SAW dilakukan dengan berbagai ekspresi. Masyarakat Jawa, misalnya, merayakan maulid dengan membaca manaqib Nabi Muhammad dalam Kitab Maulid Barzanji, Maulid Simtud Dhurar, Diba’, Saroful Anam, Burdah, dan lain-lain.
Selain pembacaan manaqib Nabi Muhammad SAW, biasanya masyarakat menyantap makanan bersama-sama yang disediakan secara gotong royong oleh warga. Masyarakat muslim tidak hanya bergembira merayakan kelahiran Nabi, tetapi juga bersyukur atas teladan, jalan hidup, dan tuntunan yang dibawa oleh Nabi. Bangsa Indonesia tidak hanya beragam atau majemuk dalam hal agama, suku, bahasa, seni, dan lain-lain, tetapi juga beragam dalam mengekspresikan tradisi amaliyah keagamaan seperti maulid. Seperti di Sulawesi Selatan yang merayakan maulid dengan cara yang unik. Perayaan maulid tersebut dinamakan Maudu Lompoa atau Maulid Akbar. Bahkan dirayakan lebih ramai dari hari raya Idul Fitri.
Mencermati kembali sejarah peringatan maulid nabi SAW, menarik kiranya jika semangat maulid tidak hanya dijadikan sebagai budaya atau tradisi biasa, melainkan harus dikembalikan sebagai media syi’ar dan pemersatu umat, dan pembangkit semangat juang umat islam. Dengan demikian maulid dapat menjadi media konsolidasai umat Islam.