SECERCAH MIMPI ANAK BANGSA (Siti Nur Hamidah)

                Berjalan menyusuri jalanan ramai saat orang lain juga menjalani aktivitas mereka, juga anak seusiaku bergegas berangkat ke sekolah. Tidak sepertiku, hanya melihat megahnya gedung sekolah dan nyamannya suasana belajar tanpa pernah merasakan duduk di bangku sekolah, apalagi menerima pelajaran untuk mengenal dunia, atau memang sudah menjadi takdir untuk kami manusia kecil yang selalu tersisih di antara ramainya kehidupan?

                Yang aku lakukan setiap harinya hanya mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk aku bawa pulang. Dan hal itu membuatku tak pernah lelah menanyakan mengapa ibu tak menyekolahkanku seperti anak-anak yang lain, meski jawaban yang ibu berikan tetap saja tidak berubah, entah mengapa.

                “Bu, apa memang anak sepertiku tidak berhak sekolah?” tanyaku sembari menundukkan kepala.

                “Kita itu tak butuh sekolah, yang penting kamu itu bisa cari uang,” jawab Ibu.

                Aku pernah mendengar di radio, “Bahwa anak-anak bangsa harus menerima pendidikan yang layak karena kelak merekalah yang membangun bangsa ini.” Tapi di lingkungan kami, anak-anak seusiaku banyak yang tak menerima pendidikan yang layak. Bagi mereka, bisa makan sehari-hari saja sudah cukup.

                “Ayo, ngapain ngelamun aja!” ujar temanku.

                “Mau kemana?” timbalku.

                “Ya, mulunglah! Emang kalo ngelamun bisa dapat uang?” sahutnya.

                “Iya,” jawabku sambil membuntut di belakangnya.

                Dimas adalah temanku, sama sepertiku yang tak pernah mengenal bangku sekolah. Baginya, tidak perlu pendidikan tinggi atau keahlian khusus untuk kami yang sehari-hari hanya bekerja sebagai pemulung. Hanya butuh karung besar.

                “Dimas, apa kamu pernah berpikir kalau kita bisa bersekolah?” tanyaku.

                “Apa itu sekolah? Mimpi kamu?” tegas Dimas.

                Walau dia berkata seperti itu, sebenarnya Dimas punya mimpi yang besar pula untuk bersekolah, namun semua itu patah karena keadaan, dan dia harus mengubur dalam-dalam mimpinya. Dia pernah berkata kalau sekolah hanya untuk orang-orang kaya saja.

                Jalanan begitu ramai pagi ini. Seorang laki-laki terlihat begitu terburu-buru dengan penampilan sangat rapi, dia berusaha menerobos keramaian. Namun, tanpa sengaja dompetnya terjatuh dari saku celana dan aku tepat berada di belakangnya. Tanpa pikir panjang, aku langsung mengambil dompet itu dan langsung bergegas mengembalikannya.

                “Pak, ini dompetnya jatuh,” laporku.

                “Oh ya,” jawabnya. Ia langsung pergi terburu-buru.

                “Siapa itu, Ris?” tanya Dimas.

                “Tidak kenal, tadi dompetnya jatuh,” jawabku.

                “Kenapa gak kamu ambil aja, kan lumayan,” sahutnya.

                “Kan bukan milik kita,” jawabku.

                Tak lama berselang, saat aku dan Dimas melepas dahaga di lapak pedagang khaki lima, Aku kembali melihat laki-laki yang tadi

dompetnya terjatuh, dari kejauhan dia seakan menuju ke arah tempatku dan Dimas duduk.

                “Kamu tadi yang mengembalikan dompet saya, ya?” tanya laki-laki itu.

                “Iya pak,” jawabku.

                “Maaf ya, saya belum mengucapkan terima kasih karena terburu-buru,” ujarnya.

                “Iya pak, tidak apa-apa,” sahutku.

                Cukup lama berbincang, dari sekian pertanyaan yang beliau lontarkan, namun ada satu pertanyaan yang membuatku sedikit merasa sedih dan sejenak terdiam. Yang sebelumnya pertanyaan itu tidak pernah ditanyakan langsung oleh seorang yang berpenampilan rapi, lengkap dengan tutur bahasa yang santun.

                “Apa kalian berdua ingin bersekolah?” tanya laki-laki itu.

                “Mungkin tidak ada anak-anak yang tak ingin bersekolah pak, termasuk kami berdua dan teman-teman kami yang lainnya, tapi bagi kami, duduk dibangku sekolah dan menerima pendidikan yang layak hanyalah sebatas mimpi,” jawabku.

                “Tidak ada yang tidak mungkin!” tegas laki-laki itu.

                Kata yang diucapkan laki-laki itu, kata-kata yang membuatku sedikit tidak percaya bahwa dia menerima kami, anak-anak di perumahan kumuh untuk bersekolah dengan layak tanpa perlu memikirkan biaya apapun di sebuah Yayasan yang didirikannya.

                Aku dan Dimas seakan membisu tidak percaya, yang dulu bersekolah adalah mimpi, sekarang menjadi kenyataan. Bersyukur kami bertemu malaikat tanpa sayap yang tuhan kirimkan untuk mewujudkan mimpi kami.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *